Wahai para Suami, Mendidik Istri Adalah Kewajibanmu

Penulis: Najmah Saiidah

Muslimah News, KELUARGA — Dalam berumah tangga, seorang suami memiliki kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan kepada istrinya. Kewajiban tersebut tidak hanya berkaitan dengan nafkah—sandang, pangan, dan papan—sebagaimana yang disangkakan oleh sebagian orang. Akan tetapi, sesungguhnya terdapat kewajiban penting yang tidak sedikit dianggap remeh atau bahkan dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara atau kewajiban-kewajiban dalam agama kepada istrinya.

Hal ini sebenarnya sangat berkaitan erat dengan fungsi kepemimpinan laki-laki atau suami atau ayah dalam keluarga. Allah menjelaskan tanggung jawab terhadap keluarga ini dalam QS At-Tahrim ayat 6.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

Secara umum objek ayat ini adalah setiap mukmin. Namun, perintah ini juga mengarah kepada orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarga, yaitu ayah. Kepala keluarga berkewajiban untuk memastikan diri dan keluarganya tercegah dari neraka, hal ini menunjukan bahwa orientasi penjagaan tersebut bukan hanya penjagaan yang bersifat duniawi, tetapi juga bersifat ukhrawi.

Fungsi Kepemimpinan Suami dalam Keluarga

Kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga berarti bahwa ayah memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang dipimpinnya, akan dibawa ke mana istri dan anak-anaknya kelak?

Allah Swt. berfirman,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ ٣٤

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”(QS An-Nisa‘: 34).

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “árrijalu qawwamuna ‘ala an-nisa” adalah laki-laki itu pemimpin kaum perempuan dalam arti pemimpin, kepala, hakim, dan pendidik bagi perempuan kala mereka menyimpang.

Bima fadhalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin” adalah karena laki-laki itu lebih utama daripada perempuan, dan laki-laki lebih baik daripada perempuan, maka kenabian pun dikhususkan kepada laki-laki. Begitu pula kepala negara, kehakiman, dan lain-lain.

Imam Ath-Thabari berkata, “Maksud ayat ini adalah bahwa lelaki merupakan pelindung (pemimpin) bagi kaum perempuan dalam mendidik dan mengajak mereka kepada apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt.. Hal itu dikarenakan kelebihan yang telah diberikan kepada laki-laki atas perempuan, dari mahar, nafkah, biaya rumah tangga, dan yang lainnya sehingga mereka menjadi pemimpin bagi kaum perempuan. Yakni pelaksana (pengemban) tugas dari Allah Swt. untuk kaum perempuan.”

Ibnu Abbas ra. berkata, “Makna ayat ini bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, dan perempuan diwajibkan untuk menaati suaminya pada perkara yang telah Allah perintahkan kepada mereka. Menaati suami adalah dengan berbuat baik kepadanya, menjaga hartanya, serta memuliakan suami atas nafkah dan penghidupan yang telah diberikannya kepada istri karena Allah Swt. telah melebihkan suami dengan itu.”

Imam Adh-Dhahak berkata, “Ayat ini bermakna bahwa lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Mereka memerintahkan kepada para istri untuk menaati Allah. Jika mereka enggan untuk menaatinya, maka kaum laki-laki boleh memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan (membuat cacat), dan Allah Swt.. telah melebihkan laki-laki atas perempuan lantaran nafkah dan penghidupan yang diberikannya kepada mereka.”

Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah Swt.. telah mengangkat suami sebagai pemimpin. Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, dan kaku terhadap keluarganya. Akan tetapi, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia dan penuh kasih sayang. Ia harus mendidik dan membina istrinya dengan baik, sesuai tuntunan syariat Islam.

Kewajiban Suami Mendidik Istri

Adakalanya, dalam sebuah rumah tangga, istri melakukan suatu kesalahan atau sesuatu yang dilarang oleh agama, maka hal itu menjadi tanggung jawab suami untuk menegur, mengingatkan, dan mengarahkan kembali istrinya ke jalan yang lurus. Untuk melakukan kewajibannya mendidik sistri, Islam telah memberikan tuntunan dan arahan bagi kaum suami, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan. Sebab mereka diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan.”

Begitu pula pesan Nabi saw. kepada Malik bin Huwairits ra., setelah Malik dan rombongannya datang ke Madinah untuk khusus belajar agama selama kurang lebih 20 hari. Ketika mereka hendak pulang, Nabi saw. berpesan,

وَمُرُوهُمْ وَعَلِّمُوهُمْ فِيهِمْ فَأَقِيمُوا أَهْلِيكُمْ، إِلَى ارْجِعُوا

“Kembalilah ke istrimu, tinggallah di tengah-tengah mereka, ajarkanlah mereka, dan perintahkanlah mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari hadis ini sesungguhnya banyak hal yang bisa kita ambil pelajaran, sabdanya, وَعَلِّمُوهُمْ (Ajarkanlah mereka), berkaitan dengan pengajaran (agama) secara teoritis. Istri dididik dan diajarkan tentang kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan perkara agama, misalnya salat, menutup aurat, adab berbicara dan keluar rumah, mendidik anak sesuai syariat, dan sebagainya. Juga mengajarkan tentang haid dan nifas, karena banyaknya kewajiban agama yang berkaitan dengan perkara ini.

Sedangkan perkataan Nabi saw., وَمُرُوهُمْ (Perintahkanlah mereka). Ini lebih berkaitan dengan praktik atau pengamalan. Karena bisa jadi tidak semua istri yang sudah diajarkan konsep-konsep Islam, kemudian mengamalkannya. Kewajiban suami adalah mengingatkan, menegur, dan memerintahkan istri ketika dia jumpai istrinya lalai dalam melaksanakan perkara-perkara yang wajib baginya. Syaikh ‘Abdul ‘Adzim Al-Badawi dalam kitabnya Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz berkata, “Di antara hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami memerintahkan istri untuk menegakkan agamanya dan menjaga salatnya. Karena Allah memerintahkan suami untuk melaksanakan kewajiban ini, sebagaimana firman-Nya,

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa. ” (QS Thaaha: 132)”

Oleh karena itu, Nabi saw.berpesan dalam sabdanya, فِيهِمْ فَأَقِيمُوا (“Tinggallah di tengah-tengah mereka.”) Artinya para suami diperintahkan untuk menyediakan waktunya untuk mendidik dan mengajarkan hal yang penting dalam agama kepada istri-istrinya sekuat tenaganya. Jangan sampai melalaikannya, karena suami wajib menjaga istri dari api neraka dengan iman dan amal saleh. Sedangkan amal saleh itu harus dengan bekal ilmu dan pengetahuan sehingga memungkinkan bagi istri untuk menunaikan dan melaksanakannya sesuai dengan apa yang dituntut oleh syariat.

Syekh Musthafa al-‘Adawi dalam kitabnya Fiqh Ta’aamul baina Az-Zaujain juga menyatakan bahwa, “Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya.”

Lalu, bagaimana jika suami tidak mampu melaksanakan kewajiban ini karena ada uzur syar’iy, apa yang harus dilakukan?

Bagaimana Jika Ada Uzur Syar’iy sehingga Kewajiban Tidak Tertunaikan?

Tidak dapat dimungkiri, terlebih dalam sistem sekuler kapitalistik saat ini, tidak sedikit para suami yang harus terpisah jarak dari istri dan anak-anaknya karena harus bekerja di tempat yang jauh, bahkan ada yang serumah, tetapi waktunya habis untuk mencari nafkah. Bahkan, bisa jadi ada suami yang lebih sedikit ilmu dan pemahaman agamanya daripada istrinya. Dalam situasi ini, tidak berarti suami boleh berlepas tangan dari kewajiban ini.

Jika suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri karena ada uzur syar’iy, maka kewajiban suami adalah mencarikan seseorang guru atau ustazah yang bisa mengajarkan perkara agama kepada istrinya, bisa juga melakukan kajian bersama dengan guru tersebut. Atau suami mengizinkan istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istri bisa belajar perkara agamanya. Dan jika ada kebutuhan mendesak untuk meminta fatwa berkaitan dengan kejadian yang dialami istri, maka kewajiban suami adalah menanyakan kepada orang yang berilmu tentangnya.

Syekh ‘Abdul ‘Adzim al-Badawi menyatakan, “Hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah suami mengajarkan istri mengajarkan perkara-perkara dharuri (yang wajib diketahui) berkaitan dengan perkara agama, atau suami mengizinkan istri untuk menghadiri majelis ilmuKarena kebutuhan istri untuk memperbaiki agamanya dan membersihkan (menyucikan) jiwanya tidaklah lebih remeh dibandingkan kebutuhan istri terhadap makanan dan minuman yang wajib dipenuhi oleh suami.”

Celaan bagi Suami yang Tidak Mendidik Istrinya

Demikian pentingnya kewajiban suami dalam mendidik dan membina istri, tidak sedikit hadis Rasulullah yang menjelaskan adanya celaan bagi suami yang melalaikan kewajiban ini. Ini artinya Islam sangat memperhatikan tugas suami dalam mendidik istrinya. Karena bagaimanapun, istri adalah ibu bagi anak-anaknya, ia memiliki kewajiban untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Bagaimana nasib generasi muslim kelak, jika para ibu tidak mampu mendidik dan membina anak-anaknya dengan baik sesuai tuntunan Islam? Oleh karena itu, agar seluruh anggota keluarganya selamat baik di dunia maupun akhirat, maka suami tidak boleh abai terhadap kewajibannya ini dan jangan sampai seorang suami meremehkan hal ini.

Nabi saw. telah mengingatkan para suami dengan sabdanya, “Takutlah kepada Allah dalam memimpin istri-istrimu, karena sesungguhnya mereka adalah amanah yang berada di sampingmu, barang siapa tidak memerintahkan salat kepada istrinya dan tidak mengajarkan agama kepadanya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. “

Dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda, “Tidak ada seseorang yang menjumpai Allah Swt. dengan membawa dosa yang lebih besar daripada seorang suami yang tidak sanggup mendidik keluarganya.”

Rasulullah saw. bersabda, “Pertama kali perkara yang dipertanggungjawabkan kepada seseorang di hari kiamat adalah keluarganya (yakni istri) dan anak-anaknya. Mereka berkata, ‘Wahai Tuhan kami, ambillah hak-hak kami (tanggung jawab) kami dari orang ini, karena sesungguhnya dia tidak mengajarkan kepada kami tentang urusan agama kami. Ia memberi makan kepada kami berupa makanan dari hasil yang haram, dan kami tidak mengetahui.’ Maka orang itu dihantam (disiksa) lantaran mencari barang yang haram, sehingga terkelupas dagingnya, kemudian dibawa ke neraka.” 

Khatimah

Telah demikian jelas bahwa seorang suami sebagai pemimpin keluarga berkewajiban untuk membimbing anak dan istrinya untuk taat kepada Allah Swt., mengajarkan mereka apa yang menjadi kewajiban yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Oleh karena itu, seorang suami harus mengajarkan ilmu agama, baik pada anak maupun istrinya. Jika seorang suami tidak begitu paham dalam masalah agama, ia wajib mencarikan guru untuk memberikan bimbingan ilmu agama pada istrinya.

Ini semua menandakan betapa pentingnya ilmu agama dalam keluarga karena agama adalah sarana untuk mengabdi pada Allah Swt. dan untuk menjauhkan kita dari siksa api neraka kelak di akhirat. Semoga Allah Swt. menjadikan kita sebagai orang-orang yang dipahamkan dalam agama dan dijadikan keluarga kita sebagai keluarga yang ahli agama dan dikumpulkan kelak dalam surga-Nya. Aamiin ya Mujibassailin. [MNews/Rgl]

Foto sampul: iStock

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *